MAKALAH
PERSPEKTIF GURU TERHADAP MURID
DISUSUN
O
L
E
H
NAMA :
SAMSUL ARIFIN
NIM : 1121100303
JUR/PRO : TARBIYAH/PAI
KELAS : G
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAIN) PONTIANAK
TAHUN
AKADEMIK 2012-2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur mari
kita haturkan ke hadirat Allah Tuhan alam semesta yang memberi kesempatan kita
untuk hidup di buana fana ini. Berkat limpahan rahmat dan ni’mat kami bisa
menyusun sebuah makalah yang berjudul “Perspektif Guru terhadap Murid” dengan
niatan agar semua kupasan ini bisa bermanfaat bagi pribadi terlebih bagi
pembaca yang budiman.
Shalawat beriringan
salam mudah-mudahan terlimpahkan kepada Nabi akhir zaman, Nabi terbaik yaitu
baginda Muhammad SAW. Yang telah menuntun kita dari jalan biadab menuju jalan
beradab, dari alam jahiliyah menuju alam ilmiyah dan dari alam kemunafikan
menuju alam keindahan dan tentunya dengan adanya islam, iman dan ihsan yang
dapat kita rasakan hingga hari ini.
Makalah ini sengaja
disusun karena akhir-akhir ini para guru telah menyepelehkan dan memandang
sebelah mata kemampuan seorang murid yang kemampuannya di bawah standar. Semua
masalah ini insyallah akan dijawab dengan hadirnya makalah ini dengan niatan
tiada lagi guru yang menganak emaskan murid yang pintar dan mentelantarkan murid
yang bodoh. Dan kita sadari bahwa mereka memiliki hak untuk sukses.
Demikianlah kata
pengantar yang dapat kami susun. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita, amin ya
robbal alamin. Namun susunan ini jauhlah kiranya dari target kesempurnaan, maka
dari itu sejuta kritik dan saran pembaca sangatlah berarti demi kesempurnaan
susunan ini.
Penyusun
Samsul Arifin
PERSPEKTIF GURU TERHADAP MURID
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini perspektif guru berada pada dua
jalur yang berbeda
1. Perspektif Positif
2. Perspektif Negatif
Perspektif
positif akan menghasilkan hasil yang positif juga, tentunya harus didasari
dengan usaha yang jitu dan kuat, mereka memiliki sistem dan paradigma dalam
proses belajar mengajar dan meningkatkan kreatifitas murid. Guru yang memiliki
perspektif positif adalah guru yang diharapkan bangsa dan tanah air. Dimana
pada saat itu guru telah merancang masa depan murid agar dia menjadi seorang
yang sukses di masa depan dengan etika, ilmu dan skill.
Perspektif
negatif akan membangun bibit-bibit negatif. Telah banyak guru telah berjalan
pada perspektif negatif. Hal ini terbukti saat murid melakukan kesalahan yang
wajar dia lakukan pada usia mudanya, namun perspektif guru telah menyalahi hal
tersebut dengan ditanggapi sebelah mata. Walaupun kita sadari bahwa memang
murid telah siap dididik dan dibimbing, namun pandangan guru telah terjerumus
dalam liang kenegatifan. Akhirnya skill murid tidak bisa dia temukan.
B. Permasalahan
Menghadapi perspektif yang terjadi pada guru dan lingkungan belajar murid baik pada tingkat lokal/nasional ataupun pada tingkat dasar, menengah dan atas, beberapa permasalahan yang muncul berkaitan
dengan upaya peningkatan kualitas murid di sekolah antara lain adalah:
- Bagaimana cara guru
menyikapi murid?
- bagaimana seharusnya
wawasan guru tentang hakikat belajar-mengajar yang relevan dengan
perubahan ini?
- Bagaimana guru harus memperlakukan murid di kelas?
- Bagaimana guru mendudukan diri dengan
peran baru yang memberi peluang semua siswa untuk melakukan ‘proses
belajar’?
- Bagaimana guru
menempatkan murid dalam perspektif pribadi?
B. Tujuan
1. Membangkitkan perspektif positif guru terhadap
murid
2. Menghilangkan perspektif negatif guru terhadap
murid
3. Menjalin hubungan batin antara guru dan murid
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Perspektif
Kata
perspektif berasal dari bahasa italia “Prospettiva” yang berarti “Gambar
Pandangan”. Di indonesia kata perspektif sudah banyak digunakan oleh
orang-orang khususnya para pelajar. Tentunya setiap guru memiliki cara pandang
berbeda terhadap muridnya. Ada murid yang diberi nilai plus di matanya dan ada
pula yang diberi nilai minus. Itu semua tergantung cara pandang guru terhadap
muridnya.
Di
dalam kelas tentunya ada murid yang pintar dan ada pula yang bodoh. Seorang
guru kadang lebih menganak emaskan anak yang pintar dengan cara memberinya
pujian dan kerap memberikan singgungan
pahit serta hinaan terhadap murid yang bodoh. Padahal mereka memiliki keinginan
yang sama yaitu menuju gerbang kesuksesan dalam belajarnya. Seorang guru harus
memiliki keyakinan tinggi demi anak didiknya dan siap berjuang sekuat tenaga
agar mereka bisa melihat indahnya dunia ilmu.
Seorang
guru harus memiliki kejelasan yang tampak, yang bisa dilihat oleh muridnya.
Sehingga mereka bisa yakin bahwa seorang guru adalah pahlawan dalam hidupnya.
Pandangan positif inilah yang menjadi pemicu besar dalam pencapaian tujuan
seorang murid dalam didikan guru. Jika pandangan positif ini tampak oleh murid,
mereka akan percaya bahwa guru itu benar-benar berjuang untuk mengantarkan
mereka pada gerbang kesuksesan.
B. Peran Guru
sebagai Pendidik
Seorang guru sebagai pendidik adalah seorang
yang telah berjasa besar bagi
masyarakat dan bangsa. Tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat, maju atau
mundurnya tingkat kebudayaan suatu masyarakat dan negara sebagian besar
bergantung pada pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru-guru terhadap muridnya. Makin tinggi pendidikan guru, makin baik pula mutu pendidikan dan
pengajaran yang diterima murid, dan makin
tinggi pula derajat masyarakat. Oleh sebab itu guru harus berkeyakinan bahwa ia
dapat menjalankan tugas itu dan berusaha menjalankan tugas kewajiban sebaiknya
sehingga dengan demikian masyarakat menginsafi sungguh-sungguh betapa berat dan
mulianya pekerjaan guru.
Pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang mulia, baik ditinjau
dari sudut masyarakat dan negara maupun ditinjau dari sudut keagamaan. Tugas
seorang guru tidak hanya mendidik. Maka, untuk melaksanakan tugas sebagai guru
tidak sembarang orang dapat menjalankannya. Sebagai guru yang baik harus
memenuhi syarat, yang ada dalam undang-undang No. 12 Tahun 1954 tentang
Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Berijazah,
b.
Sehat jasmani dan rohani,
c.
Takwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik,
d.
Bertanggungjawab,
e.
Berjiwa nasional.
Disamping syarat-syarat tersebut, tentunya masih ada syarat-syarat
lain yang harus dimiliki guru jika kita menghendaki agar tugas atau pekerjaan
guru mendatangkan hasil yang lebih baik. Salah satu syarat diatas adalah guru
harus berkelakuan baik, maka didalamnya terkandung segala sikap, watak dan
sifat-sifat yang baik. Beberapa sikap dan sifat yang sangat penting bagi guru
adalah sebagai berikut:
1.
Adil
Seorang guru harus adil dalam memperlakukan anak-anak didik harus
dengan cara yang sama, misalnya dalam hal memberi nilai dan menghukum anak.
2.
Percaya dan suka terhadap
murid-muridnya
Seorang guru harus percaya terhadap anak didiknya. Ini berarti
bahwa guru harus mengakui bahwa murid-murid
adalah makhluk yang mempunyai kemauan, mempunyai kata hati sebagai daya jiwa
untuk menyesali perbuatannya yang buruk dan menimbulkan kemauan untuk mencegah
hal yang buruk.
3.
Sabar dan rela berkorban
Kesabaran merupakan syarat yang sangat diperlukan apalagi pekerjaan
guru sebagai pendidik. Sifat sabar perlu dimiliki guru baik dalam melakukan
tugas mendidik maupun dalam menanti jerih payahnya.
4.
Memiliki Perbawa (gezag) terhadap
anak-anak
Gezag adalah kewibawaan. Tanpa adanya gezag pada pendidik tidak
mungkin pendidikan itu masuk ke dalam sanubari anak-anak. Tanpa kewibawaan,
murid-murid hanya akan menuruti kehendak dan perintah gurunya karena takut atau
paksaan; jadi bukan karena keinsyafan atau karena kesadaran dalam dirinya.
5.
Penggembira
Seorang guru hendaklah memiliki sifat tertawa dan suka memberi
kesempatan tertawa bagi murid-muridnya. Sifat ini banyak gunanya bagi seorang
guru, antara lain akan tetap memikat perhatian anak-anak pada waktu mengajar,
anak-anak tidak lekas bosan atau lelah. Sifat humor yang pada tempatnya
merupakan pertolongan untuk memberi gambaran yang betul dari beberapa
pelajaran. Yang penting lagi adalah humor dapat mendekatkan guru dengan
muridnya, seolah-olah tidak ada perbedaan umur, kekuasaan dan perseorangan.
Dilihat dari sudut psikologi, setiap orang atau manusia mempunyai 2 naluri
(insting) :
(1) naluri untuk berkelompok
(2) naluri suka bermain-main bersama.
Kedua naluri itu dapat kita gunakan secara bijaksana dalam
tiap-tiap mata pelajaran, hasilnya akan baik dan berlipat ganda.
6.
Bersikap baik terhadap guru-guru
lain
Suasana baik diantara guru-guru nyata dari pergaulan ramah-tamah
mereka di dalam dan di luar sekolah, mereka saling menolong dan kunjung
mengunjungi dalam keadaan suka dan duka. Mereka merupakan keluarga besar,
keluarga sekolah. Terhadap anak-anak, guru harus menjaga nama baik dan
kehormatan teman sejawatnya. Bertindaklah bijaksana jika ada anak-anak atau
kelas yang mengajukan kekurangan atau keburukan seorang guru kepada guru lain.
7.
Bersikap baik terhadap masyarakat
Tugas dan kewajiban guru tidak hanya terbatas pada sekolah saja
tetapi juga dalam masyarakat. Sekolah hendaknya menjadi cermin bagi masyarakat sekitarnya,
dirasai oleh masyarakat bahwa sekolah itu adalah kepunyaannya dan memenuhi
kebutuhan mereka. Sekolah akan asing bagi rakyat jika guru-gurunya memencilkan
diri seperti siput dalam rumahnya, tidak suka bergaul atau mengunjungi orang
tua murid-murid, memasuki perkumpulan-perkumpulan atau turut membantu kegiatan
masyarakat yang penting dalam lingkungannya.
8.
Benar-benar menguasai mata
pelajarannya
Guru harus selalu menambah pengetahuannya. Mengajar tidak dapat
dipisahkan dari belajar. Guru yang pekerjaannya memberi pengetahuan-pengetahuan
dan kecakapan-kecakapan kepada muridnya tidak mungkin akan berhasil baik jika
guru itu sendiri tidak selalu berusaha menambah pengetahuannya. Jadi sambil
mengajar sebenarnya guru itu belajar.
9.
Suka pada mata pelajaran yang
diberikannya
Mengajarkan mata pelajaran yang disukainya hasilnya
akan lebih baik dan mendatangkan kegembiraan baginya daripada sebaliknya. Di
sekolah menengah hal ini penting bagi guru untuk memilih mata pelajaran apa
yang disukainya yang akan diajarkannya.
10. Berpengetahuan luas
Selain mempunyai pengetahuan yang dalam tentang mata pelajaran yang
sudah menjadi tugasnya akan lebih baik lagi jika guru itu mengetahui pula
tentang segala tugas yang penting-penting, yang ada hubungannya dengan tugasnya
di dalam masyarakat. Guru merupakan tempat bertanya tentang segala sesuatu bagi
masyarakat. Guru itu mempunyai dua fungsi isitimewa yang membedakannya dari
pegawai-pegawai dan pekerja-pekerja lainnya di dalam masyarakat. Fungsi yang
pertama adalah mengadakan jembatan antara sekolah dan dunia ini. Fungsi yang
kedua yaitu mengadakan hubungan antara masa muda dan masa dewasa.
Menurut pandangan constructivism, otak anak (murid) pada dasarnya tidak seperti gelas kosong yang siap
diisi dengan air informasi yang berasal dari pikiran guru. Otak anak tidak
kosong. Otak anak berisi pengetahuan-pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri
sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan/peristiwa yang dialaminya. Meskipun
beberapa pengetahuan yang dikonstruksi anak ini cenderung miskonsepsi, menurut
anak pengetahuan-pengetahuan ini cukup masuk akal (make sense). Pengetahuan-pengetahuan ini terikat dalam satu
jaringan dan struktur kognitif anak. Driver, S ( 1986) menyebutkan struktur
kognitif ini dengan schemata.
Tapi
sayang sekali, masih ada guru yang memandang
anak tidak memiliki pengetahuan/gagasan tentang materi yang diajarkan. Guru
sering menampilkan diri sebagai sosok maha tahu yang tidak mungkin salah, sedangkan anak secara tidak sengaja diperlakukan sebagai sosok maha tidak tahu yang tidak boleh salah. Lalu, kegiatan mengajar dimaknai
sebagai kegiatan mengalirkan informasi dari kepala guru ke gelas kepala anak
yang dianggap kosong.
Hasil survei the British Council (Sukandi, U.
Karhami SKA, Maskur, 2000) terhadap 192 guru SD diketahui bahwa 63,5 % masih
menganggap mengajar sebagai kegiatan mentransfer informasi dan hanya 5,2 % yang
menganggap mengajar sebagai menciptakan kondisi sehingga peristiwa siswa
belajar dapat berlangsung. Barangkali karena pandangan ini, kegiatan mengajar
lebih sering tampak sebagai kegiatan menceramahi melalui tirani indoktrinasi.
Padahal, dengan cara ini guru sudah memerankan diri sebagai destroyer siswa
akibat kegiatan belajar bermakna tidak terwujud.
Dalam zaman yang serba berubah dewasa ini,
guru perlu merubah peran dirinya dari peran destroyer menjadi peran facilitator
murid belajar. Peran facilitator ini dicirikan dengan
disediakannya peluang seluas-luasnya bagi tiap anak (ingat semua anak bukan
hanya anak pandai saja) untuk mengembangkan gagasannya secara kreatif supaya
anak selalu aktif menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun
pengetahuan yang lebih ilmiah. Bersamaan dengan ini, guru senantiasa melatih
anak untuk memiliki keterampilan dan sikap tertentu agar dirinya mampu dan mau
belajar sepanjang hayat. Kalau ini berhasil, lulusan sekolah akan selalu
belajar dan menjadikan lingkungannya sebagai sekolah alam tempat dirinya
belajar sepanjang hayat.
C.
Peran Murid ( Produsen atau
Konsumen)?
Salah satu praktek kependidikan di sekolah
yang perlu dibenahi adalah kebiasaan anak dengan ‘budaya konsumtif’. Ini perlu
dialihkan pada kebiasaan dengan ’budaya produktif’. Budaya konsumtif antara
lain meliputi, kebiasaan siswa menerima informasi secara pasif: mencatat - mendengar - meniru sedangkan
budaya produktif adalah kebiasaan siswa untuk menghasilkan karya/gagasan: menulis gagasan - merancang/ membuat
model - meneliti - memecahkan masalah - menemukan rumus/gagasan baru. Guru perlu menciptakan lingkungan
belajar dengan budaya produktif kalau ingin meraih lulusan menjadi SDM yang
profesional, produktif, dan efisien.
Meskipun belum ada data akurat, disinyalir
sejumlah lulusan sekolah kurang produktif. Mereka kurang mahir menulis
gagasannya, kurang berani mengungkapkan gagasan, kurang terampil memecahkan
masalah, kurang terampil merencanakan penelitian, kurang berani mengambil
keputusan dengan mempertimbangkan risiko, kurang mahir berpikir alternatif
untuk menemukan solusi masalah yang beragam, cenderung cepat putus asa jika
menemui masalah yang sulit dipecahkan. Biasanya, suatu masalah baru dapat
diselesaikannya jika dilengkapi dengan resep dan rumus yang operasional.
Mengapa ini terjadi? Apakah anak kita tidak potensial untuk produktif atau
apakah peluang untuk menjadi produktif belum tersedia secara optimal?
Bagaimanapun juga, kebiasaan produktif
merupakan sikap bawaan anak sejak kecil sebab setiap anak kecil memiliki dua
sikap dasar: sikap ingin tahu dan sikap imajinatif. Kalau kedua sikap ini
dikembangkan dengan serius anak akan terlatih menjadi produktif. Sikap pertama
lazim teramati pada prilaku anak sehari-hari seperti bertanya tentang apa dan
mengapa, mengamati benda dan bagian benda yang kecil-kecil, mencoba-coba mainan
baru. Sikap ini mendorong anak untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan
alam sekitar - yang kemudian berlanjut pada pembangunan pengetahuan , meskipun
dalam wujud ‘gagasan naif’. Sedangkan, sikap imajinatif sering muncul sewaktu
anak bermain-main. Anak sering membuat aneka ragam model bangunan pasir sewaktu
bermain di pantai, sering melukis macam-macam gambar sesuai seleranya, sering
berandai-andai dirinya menjadi makhluk selain manusia. Dengan demikian, ketika
bersekolah, sebenarnya anak sudah memiliki kedua sikap ini, suatu modal dasar
untuk melatih anak menjadi produktif.
Supaya peran siswa sebagai produsen seimbang
dengan peran konsumen, guru perlu melakukan pengajaran edukatif (educative
teaching) dengan menempatkan diri dalam peran sebagai fasilitator. Para ahli
membedakan pengajaran edukatif dengan pengajaran (teaching) yang berkonotasi
pelatihan (training), pengkondisian (conditioning), dan indoktrinasi
(indoctrination’). Pengajaran edukatif adalah pengajaran yang melibatkan dan
menghargai pemikiran/tindakan siswa untuk menilai sesuatu yang akan dipelajari.
Karena itu, penanaman keyakinan terhadap sesuatu konsep/prinsip tidak cukup
hanya menyediakan bukti-bukti tetapi juga perlu mendorong siswa untuk
mencari/menyediakan bukti sendiri dan menilai bukti yang disajikan sebelum
suatu konsep/prinsip dapat diterima dan dipahaminya.
Sementara itu, pengajaran dalam bentuk
training/ drill lebih mengacu pada upaya peningkatan ketrampilan tentang tehnik
dan cara (know how) dari pada pemahaman tentang hakekat apa dan mengapa (know
what and why) suatu konsep. Lalu, pengajaran dalam bentuk conditioning adalah
bentuk kegiatan yang menyediakan stimulus (S) supaya bentuk prilaku respon ( R)
yang dinginkan dapat ditunjukkan oleh siswa. Pemberian penghargaan (reward)
kalau siswa berbuat baik merupakan bentuk conditioning. Bentuk lain pengajaran
adalah indoctrination. Jenis pengajaran ini yang beberapa ahli pendidikan mengelompokkannya dalam
kategori cara mengajar yang tidak edukatif mengacu pada pemaksaan keyakinan/
kepercayaan terhadap konsep tertentu. Dengan demikian, bentuk indoktrinasi ini
bertentangan dengan baik metoda ilmiah maupun sikap ilmiah. Di sekolah, diduga
guru yang mengajar dengan cara indoctrination dan training/drill untuk mata
pelajaran dengan sasaran kognitif seperti kelompok mata pelajaran IPA dan IPS
ini masih ada (dan bahkan mungkin masih banyak). Di antara ketiga jenis
pengajaran ini mungkin bentuk conditioning agak lebih baik meski perlu
ditingkatkan kearah bentuk educative teaching.
Dengan demikian, pada masa mendatang dalam
upaya meningkatkan kualitas lulusan, guru perlu melakukan perubahan wawasan
yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan perlakukan guru ke murid, dari peran siswa sebagai konsumen ke peran murid sebagai produsen. Berikut ciri-ciri murid berprofesi sebagai konsumen dan
produsen :
Ciri-ciri murid konsumen
1. Mendengarkan penjelasan guru sepanjang hari tanpa memberikan respon dan
penilaian terhadap materi yang disajikan
2. Mencatat semua informasi yang dituliskan guru di papan tulis dan didiktekan
guru secara lisan tanpa sedikitpun memberikan pandangan dan catatan menurut
pikirannya
3. Memberikan jawaban dengan mengulangi kata-kata yang pernah disampaikan guru
atau mengulangi informasi yang tertuang dalam buku teks.
4. Mengulangi kata-kata guru secara koor sewaktu guru memberikan jawaban
sepotong-potong dan potongan jawaban yang lain dijawab bersama-sama seperti
‘Mahluk hidup selalu berna ………’ , kata guru dan anak meneruskan dengan ‘faaaas’
5.
Menghasilkan karya dan solusi permasalahan setelah disajikan
‘resep’ rinci dari guru.
6. Membuat laporan dengan bahasa dan pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis
laporan seperti ini cukup hanya melengkapi satu atau dua kata pada ruang kosong
yang disediakan.
7. Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, apakah ada kehidupan di planet
Mars?’ Guru langsung mengatakan, ‘Kamu tahu kan bahwa di planet Mars itu tidak
ada udara maka disana tidak mungkin ada kehidupan, ya…kan’. Jawaban guru
disertai wajah sinis yang terkesan menganggap pertanyaan siswa itu sebagai
pertanyaan konyol
Ciri-ciri murid Produsen
1. Mengajukan pertanyaan, berkomentar terhadap suatu pendapat, menjawab
pertanyaan secara kreatif
2. Membuat karangan kreatif berdasarkan pengalaman dan imajinasinya.
Kadangkala dalam karangan itu disertai gambar untuk memperjelas bahasa tulis.
3. Memberikan jawaban sendiri secara kritis dengan alasan melalui hasil
penelaran logis
4. Mengomentari jawaban guru sambil mengungkapkan alasan tanda kesetujuannya
atau ketidaksetujuaan
5. Menghasilkan karya dalam bentuk model, tulisan, produk teknologi sederhana
6. Membuat laporan dengan bahasa dan pola sendiri. Laporannya penuh imaginasi
dan uraian yang disajikan sangat lengkap dan rinci
7. Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, apakah ada kehidupan di planet
Mars?’ Guru langsung mengajukan pertanyaan juga, ‘Menurutmu bagaimana, ada atau
tidak ada kehidupan? ‘Kalau ada, apakah mahluk hidup di sana seperti mahluk hidup di bumi?’
‘Kalau tidak ada, apakah tidak mungkin planet itu dijadikan objek pariwisata
pada masa mendatang oleh umat di bumi?’
KESIMPULAN
Seorang guru pasti memiliki dua
perspektif yaitu negatif dan positif. Maka guru harus lebih menonjolkan
pespektif positif karena pada dasarnya seorang murid akan minder dan putus asa
jika gurunya berperspektif negatif padanya. Akibatnya perkembangan murid
tersebut terhambat. Lain halnya dengan murid yang dipandang dengan positif,
tentu dia semakin semangat untuk berfikir luas, belajar dan berkreasi.
Semua murid pasti ingin sukses dalam
proses belajarnya. Begitupun guru, juga ingin anak-anak didiknya sukses. Tapi
kadang mereka salah dalam perspektif hingga mereka tidak sadar akan hal itu,
terhanyut dalam aliran yang salah hingga bermuara pada keputusasaan murid.
DAFTAR
PUSTAKA
-Brownhill, R. and Smart, P. (1989). Political Education.
London: Routledge
Driver, R. Guesne, E., Tiberghien, A. (1985), Children’s Ideas and
The Learning of Science dalam: Children’s Ideas in Science (Ed: Driver, R dkk),
Milton Keynes: Open University Press
-H Udin Saefudin Saud, M.Ed., Ph.D dan Drs. Ayi
Suherman.M.Pd. (2006), Inovasi Pendidikan (Inovasi Kurikulum Berbasis Masyarakat), Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung
-Makalah pada Konfrensi
Internasional Bersama Kedua UPI – UPSI. (8 – 9 Agustus 2006). Aan Komariah, Kualifikasi, Kompetensi dan
Sertifikasi Sebagai Jaminan Mutu Guru Profesional. Bandung.
-Mulyasa, E. Dr. M. Pd. (2005),
Implementasi Kurikulum 2004 : Panduan Pembelajaran KBK, Remaja Rosdakarya. Bandung
-R. Ibrahim dan Nana Syaodih S, (2003), Perencanaan
Pengajaran, Rineka Cipta. Jakarta
-Raka Joni, T. (1992), Pokok-Pokok Pikiran
Mengenai Pendidikan Guru, Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas
-Robertson, E (1992), Teaching and Related Activities, dalam The
International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education (Ed: Dunkin,
M.J.), Oxford: Pergamon Press
-S. Nasution, 1986, Didaktik Asas-Asas Mengajar, Bandung: PT Jemmas.
-Smith, B. O. (1987), Teaching: Definitions of Teaching, dalam The
International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education (Ed: Dunkin,
M.J.), Oxford: Pergamon Press
-Sanjaya Wina., Dr. M.Pd (2006),
Strategi Pembelajaran / Bab 1 Standar Proses Pendidikan, Kencana Prenada Media.
Jakarta
-Sardiman A.M. (2006), Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar, Raja Grafindo Persada. Jakarta
-Sukandi, U. Karim, SKA, Maskur (2000),
Pelatihan Belajar Aktif, Jakarta: The British Council
-Sumantri Mulyana Dr. (1998), Kurikulum dan Pengajaran,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
-Umar, J., et al. (2000). Penilaian dan
Pengujian untuk Guru SLTP. Jakarta:
Depdiknas
_____________________, 1989. Strategi
Kegiatan Belajar Mengajar dalam Pendidikan Non Formal. Bandung : Theme IKIP.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0204/01/kha1.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar